Pages

Selasa, 19 Februari 2013

Dimanakah Wahai Generasi Muda Harapan Bangsa ?


19 Februari 2013 - 20:42:12 WIB

Dimanakah Wahai Generasi Muda Harapan Bangsa ?
Oleh : Alfons Loemau*
"Kami yang kini terbaring.............
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi..............
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi...............
Kami mati muda, yang tinggal tulang diliputi debu.............
Kenang, kenanglah kami.............
Kami sudah coba apa yang kami bisa.............
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa.............
Kami sudah beri kami punya jiwa.............
Kami cuma tulang-tulang berserakan.............
Tapi adalah kepunyaanmu.............
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan............."


Komhukum (Jakarta) - Begitulah antara lain serpihan cuplikan karya Chairil Anwar dalam syairnya yang berjudul 'Karawang Bekasi' (1949). Puisi tersebut berisikan curahan hati para pahlawan bangsa, yang rela berkorban baik jiwa dan raganya demi ibu pertiwi. Seolah dalam ketidakberdayaan sambil meregang nyawa, para pahlawan meneriakkan harapan bergumam dan berharap dijemput ajal, kami titipkan negeri yang kami perjuangkan dengan penuh cinta dan pengorbanan untuk kalian hai para pemuda, isi dan bangun kemerdekaan negeri diatas setiap tetesan keringat dan darah putera puteri terbaik bangsa.

Kaum muda sering disebut juga sebagai tulang punggung harapan bangsa. Label ini membuat kaum muda menjadi selalu tampil sebagai garda terdepan yang mempelopori perjuangan dan sekaligus merupakan agen dari setiap perubahan (Agent of Change). Bukti peran pemuda ini telah terpatri di benak setiap anak bangsa ini sejak masa perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan bangsa penjajahan.

Akan tetapi semangat pemuda sebagai Agent of Change dalam merebut kemerdekaan nyatanya tidak menurun kepada para pemuda di era berikutnya. Menilik kepada peran para pemuda bangsa ini ketika  ‘tampil’ menuntut adanya perubahan dalam kepemimpinan bangsa ini pada era pergantian orde lama ke orde baru dan pada era reformasi, nampak jelas ada perbedaan dengan generasi di era permulaan berdirinya republik ini. Mereka berperan tidak lebih hanya sebagai corong peneriak pesan dari kaum-kaum elit yang memiliki kepentingan di tampuk kekuasaan, tanpa mengetahui pasti latar belakang dari tuntutan mereka.

Hari-hari ini, melalui berbagai media cetak dan elektronik kembali segenap rakyat Indonesia terperangah seraya bertanya dengan penuh harap kemana gerangan pemuda kebanggaan bangsa kini berada. Berita demi berita berkumandang tentang para tokoh muda yang bergelut dari berbagai lumpur tudingan dalam ketidakberdayaan menghadapi godaan hedonis serta berusaha tampil bagaikan teratai yang indah yang tumbuh dari rawa-rawa berlumpur noda.

Dimanakah engkau kini berada hai pemuda Indonesia harapan bangsa? Apabila kondisi suasana gaya hidup, kepandaian bersandiwara, dan penuh kepura-puraan serupa saat ini yang dialami oleh para founding fatherskita terdahulu maka mungkin hanyalah merupakan impian bahwa hari ini kita setelah lebih dari enam puluh tahun Indonesia boleh merdeka. Karena mereka bukanlah berkelakuan dan merasa berbangsa seperti para pemuda dimasa kini.

Semangat juang dan kerelaan berkorban demi kejayaan bangsa sedang tergerus dahsyat. Paradigma baru justru lahir dari pola hidup yang hedonis para pemuda zaman kini. Jangan harap menjadi pemimpin walaupun pemuda saat ini memiliki kecerdasan dan idealisme, akan tetapi banyak di antara mereka yang hanya menjadi alat pemuas diri yang bertumpu pada the basic need semata.

"Para tokoh pemuda kini sepertinya terlelap dan cenderung kurang menyadari bahwa mereka adalah generasi penerus yang harus terus berada didepan memberikan inspirasi terhadap perubahan sebuah bangsa," kata Pengamat politik, Alfons Loemau, M.Si, M.Bus. dalam menanggapi fenomena maraknya kasus Korupsi yang melibatkan banyak tokoh pemuda saat wawancara dengan Komhukum.com, Senin (18/02).

Dijelaskannya, peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi 17 Agustus 1945, dan Perjuangan 10  November 1945 merupakan bukti otentik lahirnya suatu bangsa yang hari ini dikenal bangsa Indonesia dari semangat juang tanpa menyerah. "Pemuda zaman dulu berjuang keras memikirkan persatuan dan kesatuan bangsa, bagaimana meletakan fondasi bagi pencapaian cita-cita mulia sebagaimana yang di amanatkan dalam mukadimah UUD 45. Pasca orde lama sampai kekinian sepertinya yang dirasakan semangat 45 dan Peringatan Sumpah Pemuda seolah sebatas seremonial dan ritual belaka, tanpa makna," tegasnya.

Kini idealisme serta militansi sebagai kaum pemuda cenderung identik dengan menggebrak dan memporak porandakan tatanan nama baik dan kehormatan diri, dan justru secara sadar berlomba lomba memperkaya diri dengan mengangkangi berbagai ketentuan hukum melalui praktek kolusi dan kolaborasi dengan siapapun, menghalalkan segala cara termasuk merampas hak sosial rakyat.

Bahkan menurut Dosen PTIK ini, di Negara RI menjadi pemimpin harus melalui antrean, bersaing dengan para tokoh tua yang masih menganggap dirinya punya semangat 45 dengan pemikiran sudah apa adanya dan tak ada progresivitas demi kemajuan bangsa ini, tetapi hanya untuk mencari aman bagi berkembang dan terkendalinya bisnis-bisnis mereka.

Contoh konkrit tersebut terpotret dari diri pemuda yang satu ini dan merupakan salah satu fenomena di dalam dunia politik Indonesia. Sepak terjangnya sejak menjadi Komisioner KPU dan prestasinya di dalam Partai Demokrat, hingga keterlibatannya di dalam kasus hukum, sangatlah mengejutkan publik, itulah Anas Urbaningrum. Belum lagi komentar-komentar 'nyeleneh' Anas, dalam menanggapi isu-isu yang menerpanya, bahwa Anas siap digantung di Monas jika Anas korupsi satu rupiah dalam kasus Hambalang. Baik publik hingga lawan politiknya pastilah amat 'terkesima'.

Di Partai Demokrat, karir Anas berjalan mulus dan melonjak drastis. Kepopulerannya pun kian melejit tatkala berhasil menggenggam tahta Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat pada Kongres Partai Demokrat tanggal 20-23 Mei 2010 di Bandung. Di mana ia berhasil mengalahkan dua nama tenar, yakni mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Alfian Mallarangeng dan Ketua DPR RI Marzuki Alie, dalam pemungutan suara yang berlangsung dalam dua putaran.

Pada putaran pertama Anas berhasil meraih 236 suara, disusul Marzuki (209), dan Andi (82). Meski unggul pada putaran pertama, Anas masih belum dijagokan untuk keluar sebagai pemenang. Namun, fakta berkata lain. Anas pun kembali unggul dengan 280 suara. Sedangkan, pesaing utamanya, Marzuki Alie hanya mendapat 248 suara. Sebanyak dua suara dinyatakan tidak sah dalam pemilihan tersebut.

"Anda lihat sendiri, saya menang dalam pemilihan yang demokratis. Ini bukti, selain Partai Demokrat adalah partai yang mengutamakan demokrasi, Pak SBY (Ketua Dewan Pembina PD, Susilo Bambang Yudhoyono, red) juga demokrat sejati, karena tidak pernah ikut campur pemilihan, termasuk mendukung salah satu calon," kata Anas menanggapi keterpilihannya kala itu.

Kemenangan Anas untuk duduk sebagai Ketua Umum Partai sempat diwarnai oleh kicauan Nazaruddin, bahwa keterpilihan figur ini tidak terlepas dari kemahakuasaan faktor sejumlah dana yang digelontorkan melalui kegiatan manuver Nazaruddin and the gank. Apabila fakta ini benar, maka tidaklah mengherankan mengapa sejumlah pimpinan wilayah kader Partai Demokrat berkutat mendukung kepemimpinan Anas Urbaningrum.

Namun kini, segalanya berbalik bagi Anas. Sinar cemerlang yang sempat digenggamnya kian meredup. Yang tersisa, hanya sisi kelam seputar kasus hukumnya soal dugaan korupsi Hambalang. Posisi Anas pun semakin terpojok, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lewat Ketuanya Abraham Samad mengungkapkan bahwa status tersangka Anas, hanya tinggal menunggu tanda tangan dan kepastian para petinggi lembaga Antikorupsi tersebut. Ucapan tersebut, dapat dipastikan bahwa KPK bakal segera menetapkan Anas sebagai salah satu tersangka kasus Hambalang.

Kicauan Nazaruddin yang dulu dianggap sebagai mimpi belaka, perlahan namun pasti mulai terkuak.  Andi Mallarangeng telah ditetapkan jadi tersangka. Angelina Sondakh mendekam diam di jeruji KPK. Bahkan Anas yang sebelumnya aktif dalam organisasi bernuansa religius Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kini digembor terlibat dalam korupsi walau dirinya sempat beramsal heroik untuk digantung di Monas jika terlibat.

Ironisnya, walaupun demikian masih ada segelintir orang yang berjuang mempertahankan Anas agar tidak terseret dalam kasus ini hanya untuk kepentingan golongannya dengan mengabaikan Bonum Commune(kebaikan bersama) rakyat.

Apakah Anas bersedia memenuhi sumpahnya untuk digantung di Monumen Nasional (Monas), bila benar menjadi tersangka kasus korupsi Hambalang. Sebagaimana diketahui, beberapa waktu silam, Anas pernah bersumpah untuk digantung di Monas, bila terbukti menikmati uang rakyat dalam kasus korupsi?

"Lebih jauh kita pun bertanya apa yang salah dengan generasi pemuda saat ini. Inilah yang harus menjadi introspeksi bagi kaum muda di negeri ini," pungkas Alfons. (K-4/El)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar