Pages

Senin, 25 Februari 2013

Kisah Para Korban Pemburu Riba


Selasa, 26 Februari 2013 - 11:50:56 WIB

Kisah Para Korban Pemburu Riba
Diposting Oleh : Administrator
Kategori: Gaya Hidup 

komhukumimage
Komhukum (Semarang) - Suryati sadar bunga yang dipungut oleh pemberi utang relatif sangat tinggi, namun ketiadaan pilihan mencari sumber uang dalam jangka pendek menyebabkan perempuan ini menyambar tawaran pemburu riba.

Dalam pembicaraan antara Suryati dengan pencari rente di depan warung makannya di kawasan Banyumanik Semarang, Sabtu (23/02) terekam, seorang pria menawarkan utang Rp. 500.000 dengan kewajiban Suryati menyetor Rp. 20.000 setiap hari selama satu bulan atau 30 hari.

Bila sepakat, Suryati hanya terima Rp. 450.000 karena dipotong Rp. 50.000 untuk biaya administrasi. Jadi, dengan penerimaan bersih Rp. 450.000, dalam sebulan nasabah harus mengembalikan Rp. 600.000 atau per bulan menangggung rente 33,33 persen yang bila disetahunkan hampir 400 persen! Sungguh beban bunga yang luar biasa tinggi. Rata-rata suku bunga pinjaman di bank umum sekitar 10-13 persen per tahun. Itu pun menggunakan perhitungan bunga efektif menurun, bukan bunga "flat" yang mencekik seperti digunakan para pemburu rente itu. Pencari riba ada yang bergerak perseorangan dan organisasi.

Mengapa para pedagang kecil tetap mau berutang pada pedagang uang yang mematok rente begitu mencekik? Hukum bisnis bisa menjawab pertanyaan itu. Di balik luar biasa besarnya beban bunga, ternyata untuk memperoleh pinjaman itu sangat cepat dan mudah.

Nasabah tidak harus menyerahkan KTP, agunan, dan syarat administrasi lain yang biasa ditetapkan oleh lembaga keuangan formal. Yang penting, peminjam memiliki usaha yang beroperasi secara harian. Fasilitas lainnya, nasabah tak usah setor angsuran ke kantor, cukup menunggu pengutip riba mendatangi warung mereka setiap hari.

"Orang seperti saya sulit pinjam uang dari bank, BPR, atau koperasi karena saya tidak ber-KTP Semarang," ujar Suryati dengan logat bicara warga Jakarta.

Ukuran warungnya sekitar 5 meter persegi yang digunakan untuk menaruh meja dan kursi makan, sedangkan perabot masak diletakkan di atas meja panjang yang berimpitan dengan bibir jalan aspal. Harga sewanya Rp. 4 juta setahun Suryati yang mempekerjakan satu orang pegawai itu sudah beberapa kali ingin bertobat tidak tergoda dari bujukan rentenir. Akan tetapi, situasi sulit kadang memaksanya untuk kembali mengontak penjaja uang.

"Ketika penjualan sepi, uang cicilan Rp. 20.000 per hari rasanya besar, padahal saya harus menyisihkan uang angsuran itu setiap hari. Oleh karena itu, saya kerap berpikir bisa segera melunasi utang yang masih tersisa," kata perempuan berusia 34 tahun itu.

Masih banyak Suryati lain, yang karena keterbatasan aset atau ketidaktahuannya mengenai akses memperoleh modal kerja, akhirnya harus bersimpuh di hadapan para pencari riba yang memungut rente setinggi langit.

Sumarno, pedagang makanan gorengan di dekat kampus Undip di Tembalang Semarang, juga beberapa kali berbisnis dengan rentenir. Orang seperti Suryati dan Sumarno ini memiliki jalan pintas sama ketika menghadapi kesulitan finansial, mengambil jalan pintas meski menanggung beban bunga relatif tinggi.

"Kalau tiba-tiba anak sakit dan harus berobat ke dokter, untuk memperoleh uang cepat, ya, pinjam kepada mereka (rentenir). Saat itu juga bisa cair, tanpa ada syarat (administrasi dan agunan) yang rumit," kata pria berusia 31 tahun itu.

Meminjam di lembaga keuangan formal, misalnya, koperasi, lembaga "leasing", dan bank perkreditan rakyat memang harus disertai agunan dan punya data kependudukan yang jelas. Selain itu, juga ada penilaian kelaikan usaha. Butuh beberapa hari hingga cair untuk pinjam uang satu juta rupiah, misalnya.

Padahal, kalau melihat cara hidup kebanyakan pengusaha "gurem" itu, kebutuhan uang mereka selalu saja bersifat instan dan harus dipenuhi saat itu juga. Karena, uang hasil berniaga mereka rata-rata habis untuk memenuhi kebutuhan dasar. Jadi, yang bisa meladeni cara hidup mereka, salah satunya, kaum rentenir.

Oleh karena itu, banyak yang kecanduan utang dari rentenir. Mereka tak berusaha mencari sumber pedanaan lain yang lebih murah karena hubungan bisnis antara nasabah dan rentenir sudah sedemikian saling menggantungkan.

Sulit memutus Simbiosis tersebut diakui oleh Wakil Ketua DPP Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Lasiman. Ia mengatakan sangat sulit memutus hubungan antara PKL dan rentenir karena sebagian besar PKL memang tak punya agunan dan akses ke bank.

Yang lebih menyedihkan, kata dia, sebagian besar utang dari satu rentenir itu digunakan untuk menutup utang dari pencari riba yang lain. "Jadi, gali lubang tutup lubang itu bukan lagi pepatah, melainkan benar-benar dialami banyak PKL," kata mantan Ketua DPD APKLI Jawa Tengah itu.

Menurut catatan APKLI, rata-rata PKL yang tak punya akses di lembaga keuangan konvensional punya utang kepada 4-5 rentenir. Kepada setiap rentenir mereka berutang Rp.500.000- Rp. 1.000.000. Ia membenarkan bunga yang dikutip rentenir rata-rata mencapai 33 persen/bulan.

"Sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk bayar cicilan harian. Mereka bekerja keras, tetapi rentenir yang cepat kaya," katanya ketika dihubungi, Selasa (26/2).

Di sisi sama, akses perbankan oleh rakyat Indonesia memang masih rendah, kurang dari setengah dari populasi Indonesia.

Kepala Ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti, menyebutkan sebanyak 49 persen dari 240 juta penduduk Indonesia tidak punya rekening bank. Indikator lain, setiap 1.000 kilometer persegi cuma ada tujuh cabang bank dan 13 anjungan tunai mandiri (ATM).

Fasilitas finansial tersebut lebih rendah dari India yang memiliki 26 kantor cabang bank dan 19 mesin ATM untuk tiap 1.000 km2.

Untuk menekan sepak terjang rentenir, pemerintah setiap tahun pun menggulirkan kredit murah dan mudah, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang seharusnya menjangkau bisa semua pengusaha kecil dan mikro.

Akan tetapi, menurut Lasiman, KUR juga mensyaratkan agunan dan membatasi orang yang sudah punya pinjaman di bank sehingga banyak PKL tak bisa mendapat kredit murah tersebut.

Bagi pemburu riba, mendapat imbalan bunga tinggi dianggap wajar karena risiko yang ditanggung juga besar. Mereka berani meminjamkan uang secara instan kepada PKL tanpa agunan dan mengecek tempat tinggal nasabah. Kalau nasabah pergi atau meninggal, lenyap pula uang mereka.

Keberanian para rentenir ini juga melampaui bank. Kalau bank mengasuransikan nasabahnya sehingga kala nasabahnya wafat, asuransilah yang menanggung sisa utang itu. Sementara, piutang rentenir kelas "gurem" itu akan hangus bersamaan dengan berpulangnya nasabah.

Di tengah penetrasi dan ekspansi perbankan hingga ke pelosok, ternyata pemburu rente ini masih eksis. Entah sampai kapan? (K-5/el)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar